Wed. Dec 4th, 2024

Bagaimana Pesantren Menjawab Tantangan Bonus Demografi?

ciganjur center

“Lulusan pesantren kok jadi karyawan kantor? Kenapa nggak jadi pendakwah atau kyai aja?”

Pertanyaan di atas sering dilontarkan oleh rekan kerja ataupun kolega kantor ketika mengetahui bahwa saya adalah lulusan pesantren. Saya sangat memaklumi pertanyaan tersebut, karena mayoritas masyarakat umum masih memandang pesantren sebagai pusat pendidikan agama dan kitab kuning saja. Ketika lulus diharapkan untuk berdakwah atau menjadi tokoh agama di lingkungannya.

Pesantren dan Bonus Demografi
Seiring berkembangnya zaman, pesantren bertransformasi menjadi lembaga yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum dan teknologi. Banyak pesantren yang sudah menyelenggarakan pendidikan umum mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan daya tawar pesantren sebagai lembaga pendidikan sekaligus meningkatkan kapasitas dan kualitas santri sebagai peserta didiknya.

Apalagi, saat ini kita telah memasuki fase bonus demografi penduduk Indonesia, dimana jumlah penduduk usia produktif (15 – 64 tahun) akan lebih besar dibanding usia non-produktif (65 tahun ke atas). Fase ini diperkirakan berlangsung dari tahun 2020 hingga tahun 2030. Besarnya angka usia produktif tersebut diharapkan menjadi modal utama untuk memacu pertumbuhan perekonomian dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Selalu ada dua sisi dalam satu keping koin uang, begitu juga bonus demografi. Jika melihat dari sisi positif kita akan sangat diuntungkan. Secara kuantitas ekonomi, kita memiliki modal yang cukup kuat dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Hal itu juga berdampak pada kemandirian perekonomian mulai dari usaha ekonomi menengah ke bawah hingga industri skala besar.

Sedangkan dari sisi negatif, jika bonus demografi ini tidak dipersiapkan dan dikelola secara maksimal, maka akan menjadi beban yang membawa dampak buruk pada tatanan sosial masyarakat. Usia produktif yang tidak memiliki kompetensi untuk bersaing hanya akan menjadi pengangguran dan meningkatkan angka kemiskinan. Masalah tersebut tentunya juga akan berbuntut pada kondisi kesehatan yang rendah dan tingkat kriminalitas yang tinggi.


Realitanya, banyak pemuda yang merupakan usia produktif menyandang status sebagai ‘pengangguran sejati’. Melansir dari laporan Statistik Pemuda Indonesia 2022, terdapat 24,28 persen pemuda (16-30 tahun) yang termasuk dalam klasifikasi NEET (not in employment, education, and training). Hal tersebut mengindikasikan berkurangnya daya saing pendatang usia muda sebagai tenaga kerja potensial di fase bonus demografi.

Bagaimana Respon Pesantren?
Lalu, bagaimana pesantren merespon hal tersebut?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ بِخَيْرِ كُمْ مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ لِاخِرَتِهِ وَلاَ اخِرَتَهُ لِدُنْيَاهُ حَتّى يُصِيْبُ مِنْهُمَاجَمِيْعًا فَاِنَّ الدَّنْيَا بَلَاغٌ اِلَى اْلاخِرَةِ وَلَاتَكُوْنُوْا كَلًّا عَلَى النَّاس.

Artinya: “Bukan orang yang terbaik diantaramu orang yang meninggalkan dunianya untuk akhiratnya dan yang meninggalkan akhiratnya untuk dunianya, sehingga memperoleh keduanya sekaligus. Sesungguhnya dunia ini bakal ke akhirat, dan janganlah kamu menjadi beban atas manusia” (HR. Ibnu Asakir dari Anas)

Hadis di atas dapat menjadi pijakan utama pesantren dalam merespon bonus demografi. Hadis tersebut dapat dikontekstualisasikan sebagai misi pesantren dalam mendidik santri agar menjadi pribadi yang menyeimbangkan antar perkara dunia dan akhirat, sehingga tidak menjadi beban untuk orang lain.

Dengan misi mencetak pribadi yang dapat menyeimbangkan perkara dunia dan akhirat, pesantren memiliki potensi yang cukup kuat untuk bersaing dalam bonus demografi. Mengutip dari data statistik Kementerian Agama tahun 2022, terdapat 22.115 pondok pesantren dengan jumlah santri 4.373.694 yang tersebar di berbagai wilayah. Kuantitas yang cukup besar tersebut tentunya bisa menjadi modal besar bagi pesantren untuk turut andil dalam kompetisi bonus demografi saat ini

Akan tetapi, jumlah santri yang cukup besar juga bisa menjadi beban pesantren sebagai lembaga pendidikan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang mampu berkompetisi di berbagai hal. Jangan sampai pesantren justru gagal dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan hanya menjadi penyumbang beban bonus demografi di kemudian hari.

Pesantren sebagai representasi pendidikan agama tradisional harus beradaptasi pada perkembangan zaman tanpa menghilangkan keunggulan dan kekhasannya. Dengan strategi perencanaan yang baik, diharapkan pesantren mampu melahirkan sumber daya manusia yang kompeten dengan bekal semangat nilai keislaman dan kemaslahatan.

Tiga Langkah yang Bisa Dilakukan
Dalam merespon bonus demografi, pesantren perlu memiliki langkah langkah nyata dalam mendidik santri agar menjadi pribadi yang mandiri dan memiliki daya saing di dunia industri. Adapun yang bisa dilakukan pesantren dalam merespon bonus demografi adalah sebagai berikut.

Pertama, pesantren sebagai institusi pendidikan harus ikut andil dalam mengembangkan kualitas sumber daya manusia meliputi aspek kecerdasan spiritual, emosional, intelektual, serta kecerdasan sosial. Selain belajar tentang ilmu agama, santri juga harus dibekali pengetahuan umum dan keterampilan yang mendukung minat dan bakat mereka ketika hidup bermasyarakat.

Kedua, pesantren perlu mempersiapkan santri agar dapat diserap oleh pasar kerja ketika purna studi. Persaingan pasar kerja yang semakin ketat dan variatif menjadikan pesantren harus lebih ekstra dalam meresponya. Langkah ini bisa diwujudkan dengan memberikan berbagi pelatihan kepada santri, baik pengetahuan dasar ataupun sesuai dengan minat dan bakat. Selain itu santri juga harus dibekali jiwa kewirausahaan agar memiliki sifat mandiri dan kebermanfaatan pada masyarakat.

Ketiga, selain menjadikan santri sebagai subjek dalam merespon bonus demografi. Pesantren juga bisa menjadi motor penggerak perekonomian dan penyedia lapangan kerja. Melalui kolaborasi dengan penduduk sekitar, pesantren mampu melakukan pemberdayaan masyarakat dengan berbagai usaha. Bisa melalui koperasi, pemanfaatan lahan pertanian, pramujasa dan kegiatan lain menyesuaikan potensi pesantren.

Dengan langkah-langkah di atas, kita optimis pesantren bisa melahirkan santri yang memiliki kemampuan, pengetahuan, dan mental yang berkualitas untuk bersaing dalam merespon bonus demografi.


Selain itu, santri juga tetap harus memegang teguh kaidah dan nilai yang sudah didapatkan di pesantren. Santri tidak hanya menjadi pemuka agama saja, tetapi santri juga bisa menjadi dokter, arsitek, politisi dan berbagai profesi tanpa menghilangan semangat dakwah dan nafas kemaslahatan yang mereka miliki. Dengan itu, eksistensi pesantren akan terus hidup dan memberikan kontribusi penting pada setiap zamannya.

Penulis: Chabibul Muchafidzin

Tautan: https://ibtimes.id/bagaimana-pesantren-menjawab-tantangan-bonus-demografi/

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *