Thu. May 22nd, 2025

Kemiskinan di Pedesaan Indonesia: Analisis Struktural dan Kultural

Kemiskinan di Indonesia tidak bisa sekadar dijelaskan sebagai masalah kurangnya finansial atau penghasilan, melainkan bersifat multidimensi yaitu berkaitan dengan ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, lingkungan, psikologis, dan agama yang membentuk sistem ketidakberdayaan masyarakat. Situasi ini bukan hanya membutuhkan deklamasi kuantitatif melalui data statistik tapi juga penginderaan batin yang mendalam tentang bagaimana kerangka sosial, budaya dan kebijakan publik berkontribusi dalam menumbuhkan dan mempertahankan kesengsaraan. Dalam kondisi ini, agama yang seharusnya menjadi nafas pembebasan, justru sering terjebak dalam formalisme simbolik tanpa memahami akar masalah.  

Ekonomi: Ketimpangan Struktural dan Marginalisasi Sektor Informal

Mayoritas warga desa menggantungkan hidup pada sektor informal sebagai buruh tani, pedagang kecil, atau pekerja serabutan tanpa jaminan sosial, akses kredit produktif, atau pasar yang adil. Data BPS (2025) menunjukkan 11,34% penduduk perdesaan hidup di bawah garis kemiskinan, angka yang lebih tinggi dibanding perkotaan. Ketimpangan ini diperparah oleh konsentrasi kepemilikan tanah; indeks Gini kepemilikan lahan perdesaan mencapai 0,56, menunjukkan sebagian besar tanah dikuasai segelintir pemilik. Akibatnya, petani gurem dan buruh tani terjebak dalam roda penderitaan. Mereka bukan hanya menghadapi fluktuasi harga komoditas, tetapi juga ketergantungan pada tengkulak yang memainkan harga. Upah buruh tani yang hanya Rp35.000-50.000/hari jauh di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) mempertegas bagaimana sistem ekonomi yang ada malahan mengeksploitasi kelompok paling rentan.  

Pendidikan: Kemerosotan dalam Ketidakadilan Sistemik 

Sektor pendidikan di perkampungan menghadapi masalah ganda: akses terbatas dan kualitas rendah. Angka putus sekolah di tingkat SMP mencapai 9,2% (Kemendikbud, 2025), dengan penyebab utama biaya sekolah yang tidak terjangkau dan kebutuhan anak membantu ekonomi keluarga. Bahkan bagi yang berhasil menamatkan pendidikan dasar, kesenjangan literasi digital dan finansial membuat mereka sulit bersaing di skala internasional. Survei Kominfo (2025) menemukan hanya 34,5% masyarakat desa yang melek digital, dibanding 72,1% di perkotaan. Kondisi ini menciptakan apa yang disebut Pierre Bourdieu sebagai reproduksi sosial kemiskinan, di mana anak-anak keluarga miskin cenderung tetap miskin karena tidak memiliki modal kultural dan intelektual untuk mengubah nasib.  

Kesehatan: Krisis Layanan dan Beban Ganda Penyakit  

Sistem kesehatan di pedesaan masih tertinggal. Puskesmas sering kekurangan tenaga medis, obat-obatan, dan fasilitas dasar. Data Kemenkes (2025) menunjukkan 24,3% balita di desa mengalami stunting indikator nyata buruknya gizi dan sanitasi. Ironisnya, selain penyakit menular seperti TBC dan diare yang masih tinggi, masyarakat mulai menghadapi beban penyakit degeneratif (diabetes, hipertensi) akibat perubahan pola makan. Akses layanan kesehatan tetap terbatas; 38% balita menderita anemia (Riskesdas, 2024), tetapi banyak keluarga lebih memilih pengobatan tradisional atau “obat warung” karena ketidakpercayaan terhadap layanan kesehatan formal.  

Agama: Antara Kekuatan Pembebasan dan Legitimasi Kemiskinan

Dalam keterbatasan yang ada agama seharusnya menjadi kekuatan emansipasi yang mendorong transformasi sosial. Nilai-nilai seperti keadilan (`‘adl`), kemaslahatan (`maslahah`), dan tanggung jawab kolektif (`fardhu kifayah`) dalam Islam bisa menjadi landasan pemberdayaan. Namun dalam praktik, agama sering terjebak dalam ritualisme simbolik. Pengajian dan ceramah ramai dihadiri, tetapi jarang menyentuh isu struktural seperti ketimpangan ekonomi atau korupsi dana desa. Narasi religius bahkan kerap digunakan untuk melanggengkan kemiskinan melalui doktrin “sabar dan syukur” yang pasif, tanpa kritik terhadap sistem yang menindas. Padahal, potensi filantropi Islam seperti zakat sangat besar nilainya mencapai Rp327 triliun/tahun (Baznas, 2025) tetapi pengelolaannya masih tersentralisasi dan kurang berdampak pada pemberdayaan berkelanjutan.  

Merakit Pendekatan Holistik dan Berkeadilan  

Kemiskinan tanah hijau Indonesia merupakan buah dari kegagalan sistemik baik dalam kebijakan ekonomi, layanan publik, maupun pendekatan kultural. Solusinya tidak bisa parsial; diperlukan pendekatan holistik yang menggabungkan revitalisasi sistem(seperti redistribusi lahan dan akses keuangan) dengan transformasi kultural (termasuk reinterpretasi peran agama dalam pembangunan). Negara harus hadir dengan kebijakan inklusif, sementara masyarakat sipil dan peran tokoh masyarakat perlu melewati cakrawala wacana simbolik menuju tindakan konkret. Tanpa penyempurnaan mendalam kemiskinan multidimensi ini tidak hanya akan bertahan, tetapi juga diwariskan ke pembawa opor kehidupan.

M. Qois Shihab S.I.Kom

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *