Pada tahun 1987, K.H. Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur menulis
pandangannya mengenai sistem Demokrasi di Indonesia yang mengacu terhadap Pancasila yang
kemudian ditafsirkan lebih mendalam pada Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(P4) yang dibentuk dengan ketetapan MPR no.II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa
yang menjabarkan kelima asas dalam Pancasila menjadi 36 butir pengamalan sebagai pedoman
praktis bagi pelaksanaan dasar negara, penjabaran Pancasila ini kemudian disebarluaskan melalui
indoktrinasi masif yang berlangsung sejak 1978 dan berakhir pada 1998 setelah Presiden
Soeharto turun dari tahta.
Kritik Gus Dur terhadap Penerapan P4
Gus Dur, atau Abdurrahman Wahid, dikenal sebagai seorang pemikir yang kritis terhadap
berbagai aspek sosial, politik, dan pendidikan di Indonesia. Salah satu kritiknya yang signifikan
adalah mengenai penyerapan kuantitatif objektif terhadap P4 (Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila).
Gus Dur berpendapat bahwa P4 seharusnya tidak hanya menjadi instrumen formalitas
dalam pendidikan dan kehidupan berbangsa. Ia menganggap bahwa penyerapan nilai-nilai
Pancasila harus dilakukan secara lebih mendalam dan tidak sekadar pada tataran kuantitatif.
Dalam pandangannya, pendidikan yang mengacu pada Pancasila harus mampu memanusiakan
manusia, memberikan makna yang lebih dalam tentang nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan
sosial
Aspek kritis dalam pendidikan antara lain:
- Kualitas Pendidikan: Gus Dur menekankan pentingnya kualitas pendidikan yang tidak
hanya berfokus pada penguasaan materi tetapi juga pada internalisasi nilai-nilai moral
dan spiritual. Ia melihat bahwa banyak peserta didik yang kurang mendapatkan asupan
nilai-nilai tersebut, sehingga tujuan pendidikan Islam dan nasional belum sepenuhnya
tercapai - Pribumisasi Islam: Dalam konteks ini, Gus Dur juga mengkritik adanya kecenderungan
untuk ideologi Islam dalam pendidikan. Ia mendorong agar pendidikan Islam di
Indonesia lebih bersifat kultural dan inklusif, bukan sekadar mengikuti model-model
asing yang tidak relevan dengan konteks lokal - Penolakan terhadap Formalisasi: Gus Dur menolak pendekatan yang terlalu formalistik
dalam penerapan Pancasila. Ia berargumen bahwa pendekatan tersebut dapat
mengabaikan pluralitas masyarakat Indonesia, yang seharusnya dihargai dan dijadikan
dasar dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila
Kritik Gus Dur terhadap penyerapan kuantitatif objektif terhadap P4 mencerminkan
pemikirannya yang mendalam mengenai pendidikan dan ideologi. Ia menekankan pentingnya
kualitas pendidikan yang mampu menginternalisasi nilai-nilai Pancasila secara kultural dan
inklusif, serta menolak pendekatan formalistik yang dapat mengalienasi kelompok-kelompok
tertentu dalam masyarakat. Gus Dur berusaha untuk mendorong perubahan yang lebih
substansial dalam cara kita memahami dan menerapkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Efek penerapan P4 yang mengikis demokrasi menurut Gus Dur
Efek penerapan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang mengikis
demokrasi menurut Gus Dur dapat dijelaskan melalui beberapa aspek: - P4 Sebagai Alat Kontrol Otoriter Gus Dur menilai P4 sebagai alat untuk mengekang
kebebasan dan mengontrol pemikiran rakyat. Pada masa Orde Baru, P4 diterapkan secara
dogmatis dan dipaksakan kepada seluruh lapisan masyarakat. Dalam pandangannya, P4
telah digunakan sebagai instrumen yang memperkuat otoritarianisme pemerintah, yang
tidak memberikan ruang bagi kebebasan berpendapat dan pluralisme politik. Gus Dur
mengkritik praktik ini karena mengarah pada pembatasan kebebasan individu dan tidak
memberikan ruang bagi perbedaan pendapat yang esensial dalam sistem demokrasi. - Pembatasan Kebebasan Berpendapat Gus Dur sangat menekankan pentingnya kebebasan
berpendapat dalam sebuah negara demokratis. Namun, ia melihat penerapan P4 sebagai
cara untuk mengekang kebebasan tersebut. P4 dipandang sebagai program yang berusaha
“mendidik” rakyat untuk mematuhi doktrin negara tanpa memberikan ruang bagi
pendapat yang berbeda. Dengan cara ini, P4 menjadi alat pembatasan terhadap kebebasan
berekspresi, yang dalam pandangan Gus Dur adalah elemen penting dalam demokrasi
yang sehat. - P4 dan Penegakan Keseragaman Ideologi Gus Dur mengkritik penerapan P4 karena
dianggap memperkenalkan keseragaman ideologi yang berbahaya bagi keberagaman
Indonesia. Indonesia adalah negara yang plural, dengan berbagai suku, agama, dan
budaya. P4, yang dipaksakan oleh pemerintah, mengarah pada homogenisasi ideologi
yang bertentangan dengan prinsip pluralisme. Pancasila memang merupakan dasar
negara, tetapi Gus Dur menegaskan bahwa Indonesia harus mampu mengakomodasi
keberagaman pandangan hidup dan tidak memaksakan satu ideologi tunggal. - Menciptakan Masyarakat yang Tidak Kritis Gus Dur menilai bahwa P4 menghambat
kemampuan masyarakat untuk berpikir kritis terhadap kebijakan pemerintah dan masalah
sosial yang ada. Program ini, dalam pandangan Gus Dur, lebih menekankan pada
kepatuhan terhadap aturan negara daripada mengajarkan cara berpikir yang mandiri.
Demokrasi yang sejati membutuhkan masyarakat yang kritis dan mampu
mempertanyakan kebijakan pemerintah tanpa takut dihukum atau ditekan. - P4 Sebagai Hambatan dalam Membangun Demokrasi yang Sehat Gus Dur sering
menekankan bahwa untuk membangun demokrasi yang sehat, negara harus memberikan
ruang bagi keberagaman pendapat dan memastikan adanya mekanisme check and balance
yang efektif. P4, dalam pandangannya, menjadi hambatan bagi terciptanya demokrasi
yang sehat karena justru mengarahkan masyarakat pada sikap patuh dan tunduk kepada
negara, tanpa memberikan ruang untuk kebebasan berpendapat, diskusi terbuka, dan
perbedaan pandangan.
Dalam pandangan Gus Dur, demokrasi yang ideal harus melampaui tahap formalistik dan
fokus pada substansi sosial dan politik. Ia percaya bahwa demokrasi substansial—yang
melibatkan partisipasi aktif masyarakat sipil dan fokus pada kemaslahatan rakyat untuk
memastikan keberlangsungan sistem demokratis yang seimbang dan inklusif.
Penerapan P4 terhadap stabilitas politik Indonesia - Stabilitas Politik dan Ekonomi: Stabilitas politik menciptakan lingkungan yang kondusif
bagi pertumbuhan ekonomi. Investasi dan bisnis cenderung berkembang lebih baik dalam
suasana politik yang stabil karena memberikan prediktabilitas dan kepastian hukum - Peran Aktif Masyarakat: Peran aktif masyarakat dalam proses politik juga berpengaruh
besar terhadap stabilitas politik. Partisipasi warga negara dalam pemilihan umum,
pengawasan pemerintah, dan peran aktif dalam proses kebijakan adalah aspek penting
yang dapat menjaga stabilitas politik - Pencegahan Paham Ekstrimis: P4 berfungsi untuk melakukan pencegahan terhadap
penyebaran paham-paham ekstrimis yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila, seperti radikalisme, komunisme, hingga ekstremisme
Stabilitas politik yang buruk di era Demokrasi Liberal 1950-1959 - Pergantian Kabinet yang Cepat: Kabinet seperti Natsir dan Sukiman hanya bertahan
dalam waktu singkat, mencerminkan tantangan dalam menjaga stabilitas pemerintahan.
Seringnya pergantian kabinet mengganggu stabilitas politik Indonesia karena pemerintah
hanya berfokus pada pergantian kabinet saja - Hubungan Pusat dan Daerah: Daerah merasa kurang diperhatikan karena pemerintah
pusat terlalu sering berganti. Hal ini memicu potensi ketidakpuasan dan gerakan
separatisme, yang menantang persatuan nasional. - Kemacetan Dewan Konstituante: Dewan Konstituante yang bertugas menyusun konstitusi
baru mengalami kemacetan selama beberapa tahun. Ketidakmampuan dalam
merumuskan konstitusi baru menyebabkan kekecewaan di masyarakat. - Dominasi Kepentingan Partai: Kondisi politik cenderung tidak stabil dan didominasi oleh
kepentingan partai
Dekrit Presiden 5 Juli 1959: Presiden Soekarno dan TNI mengumumkan Dekrit Presiden
untuk mengatasi ketidakstabilan politik dan ancaman terhadap persatuan negara. Dekrit ini
melarang semua kegiatan politik, memulihkan UUD 1945, dan membentuk MPR. Kemudian
Presiden Soekarno merespon kondisi politik dengan menggaungkan Nasakom, Konsepsi
Presiden, Kabinet Gotong Royong, dan Dewan Nasional. Dewan Nasional bertugas memberikan
nasihat kepada kabinet hal itu dilakukan Soekarno untuk memberikan penawaran baru dalam
merespon kondisi sosial-politik kala itu
Tidak selarasnya P4 dengan demokrasi liberal - Demokrasi Liberal (1950-1959) lebih mendekati prinsip-prinsip demokrasi yang ideal
dengan kebebasan berpendapat, pluralisme politik, dan partisipasi politik yang lebih luas.
Meskipun ada masalah ketidakstabilan politik dan polarisasi, sistem ini memungkinkan
masyarakat untuk lebih aktif dalam proses politik dan memiliki hak untuk mengkritik
pemerintah. - P4 berhasil memberikan stabilitas politik dan kesatuan ideologi negara, cenderung
mengikis demokrasi dengan menekan kebebasan berpendapat dan membatasi pluralisme
politik. Sistem ini lebih mengutamakan kontrol pemerintah atas masyarakat dan
mengurangi ruang untuk oposisi.
Secara umum, Demokrasi Liberal (1950-1959) dapat dianggap lebih baik dalam konteks
demokrasi, karena memberi ruang bagi kebebasan politik, pluralisme, dan partisipasi rakyat. P4,
di sisi lain, meskipun mungkin menguntungkan dalam hal stabilitas politik, cenderung
merugikan prinsip-prinsip dasar demokrasi seperti kebebasan dan keterbukaan.
Tawaran Gus Dur untuk Perbaikan - Reformasi Pendidikan Demokrasi: Gus Dur mendorong adanya reformasi dalam
pendidikan yang mengintegrasikan nilai-nilai demokrasi dengan ajaran Islam, sehingga
dapat melahirkan generasi yang paham akan hak dan kewajiban mereka dalam
masyarakat - Penguatan Infrastruktur Demokrasi: Ia menekankan perlunya memperkuat
lembaga-lembaga demokrasi seperti parlemen dan hukum, agar dapat menjalankan fungsi
mereka secara efektif dalam mewujudkan keadilan sosial - Musyawarah dan Partisipasi: Gus Dur mengusulkan agar prinsip musyawarah
diintegrasikan dalam setiap aspek kehidupan berbangsa, sehingga keputusan yang
diambil mencerminkan kepentingan semua pihak dan bukan hanya segelintir elit politik - Penolakan Terhadap Otoritarianisme: Dengan menolak segala bentuk otoritarianisme,
Gus Dur menyerukan agar Pancasila tidak dijadikan alat legitimasi kekuasaan, tetapi
sebagai dasar untuk membangun masyarakat yang adil dan sejahtera
Melalui pandangan ini, Gus Dur berusaha mendorong Indonesia menuju sebuah sistem
demokrasi yang lebih inklusif dan substantif, dengan menghargai pluralitas serta memberikan
ruang bagi semua elemen masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam proses politik.
REFERENSI
Jurnal Ilmu Sosial dan Politik. (2001). Demokrasi dan Demokratisasi: Perspektif Gus Dur.
Wahid, Abdurrahman. (2003). Islam dan Pluralisme: Refleksi Pemikiran Gus Dur.
Wahid, Abdurrahman. (2005). Islam, Kebudayaan, dan Demokrasi: Pemikiran Gus Dur tentang
Kebebasan Berpendapat.
Budiman, Arief. (2010). Gus Dur dan Demokrasi: Sejarah dan Pemikiran Politik.
Budi Santosa, “Pancasila dan Demokrasi: Antara Konsolidasi Negara dan Ruang Publik”
Rudi Haryanto, “P4 dan Orde Baru: Sejarah Politik Penghayatan Pancasila”
Ahmad Taufik, “Pancasila sebagai Ideologi Negara dan Tantangannya dalam Konteks
Demokrasi”
Penulis: Muhammad Fadhil Bilad