Mon. Apr 7th, 2025

Pancasila dan Liberalisme: Penerapan Sistem Demokrasi di Indonesia

Pada tahun 1987, K.H. Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur menulis
pandangannya mengenai sistem Demokrasi di Indonesia yang mengacu terhadap Pancasila yang
kemudian ditafsirkan lebih mendalam pada Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(P4) yang dibentuk dengan ketetapan MPR no.II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa
yang menjabarkan kelima asas dalam Pancasila menjadi 36 butir pengamalan sebagai pedoman
praktis bagi pelaksanaan dasar negara, penjabaran Pancasila ini kemudian disebarluaskan melalui
indoktrinasi masif yang berlangsung sejak 1978 dan berakhir pada 1998 setelah Presiden
Soeharto turun dari tahta.


Kritik Gus Dur terhadap Penerapan P4


Gus Dur, atau Abdurrahman Wahid, dikenal sebagai seorang pemikir yang kritis terhadap
berbagai aspek sosial, politik, dan pendidikan di Indonesia. Salah satu kritiknya yang signifikan
adalah mengenai penyerapan kuantitatif objektif terhadap P4 (Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila).
Gus Dur berpendapat bahwa P4 seharusnya tidak hanya menjadi instrumen formalitas
dalam pendidikan dan kehidupan berbangsa. Ia menganggap bahwa penyerapan nilai-nilai
Pancasila harus dilakukan secara lebih mendalam dan tidak sekadar pada tataran kuantitatif.
Dalam pandangannya, pendidikan yang mengacu pada Pancasila harus mampu memanusiakan
manusia, memberikan makna yang lebih dalam tentang nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan
sosial


Aspek kritis dalam pendidikan antara lain:

  1. Kualitas Pendidikan: Gus Dur menekankan pentingnya kualitas pendidikan yang tidak
    hanya berfokus pada penguasaan materi tetapi juga pada internalisasi nilai-nilai moral
    dan spiritual. Ia melihat bahwa banyak peserta didik yang kurang mendapatkan asupan
    nilai-nilai tersebut, sehingga tujuan pendidikan Islam dan nasional belum sepenuhnya
    tercapai
  2. Pribumisasi Islam: Dalam konteks ini, Gus Dur juga mengkritik adanya kecenderungan
    untuk ideologi Islam dalam pendidikan. Ia mendorong agar pendidikan Islam di
    Indonesia lebih bersifat kultural dan inklusif, bukan sekadar mengikuti model-model
    asing yang tidak relevan dengan konteks lokal
  3. Penolakan terhadap Formalisasi: Gus Dur menolak pendekatan yang terlalu formalistik
    dalam penerapan Pancasila. Ia berargumen bahwa pendekatan tersebut dapat
    mengabaikan pluralitas masyarakat Indonesia, yang seharusnya dihargai dan dijadikan
    dasar dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila
    Kritik Gus Dur terhadap penyerapan kuantitatif objektif terhadap P4 mencerminkan
    pemikirannya yang mendalam mengenai pendidikan dan ideologi. Ia menekankan pentingnya
    kualitas pendidikan yang mampu menginternalisasi nilai-nilai Pancasila secara kultural dan
    inklusif, serta menolak pendekatan formalistik yang dapat mengalienasi kelompok-kelompok
    tertentu dalam masyarakat. Gus Dur berusaha untuk mendorong perubahan yang lebih
    substansial dalam cara kita memahami dan menerapkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
    Efek penerapan P4 yang mengikis demokrasi menurut Gus Dur
    Efek penerapan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang mengikis
    demokrasi menurut Gus Dur dapat dijelaskan melalui beberapa aspek:
  4. P4 Sebagai Alat Kontrol Otoriter Gus Dur menilai P4 sebagai alat untuk mengekang
    kebebasan dan mengontrol pemikiran rakyat. Pada masa Orde Baru, P4 diterapkan secara
    dogmatis dan dipaksakan kepada seluruh lapisan masyarakat. Dalam pandangannya, P4
    telah digunakan sebagai instrumen yang memperkuat otoritarianisme pemerintah, yang
    tidak memberikan ruang bagi kebebasan berpendapat dan pluralisme politik. Gus Dur
    mengkritik praktik ini karena mengarah pada pembatasan kebebasan individu dan tidak
    memberikan ruang bagi perbedaan pendapat yang esensial dalam sistem demokrasi.
  5. Pembatasan Kebebasan Berpendapat Gus Dur sangat menekankan pentingnya kebebasan
    berpendapat dalam sebuah negara demokratis. Namun, ia melihat penerapan P4 sebagai
    cara untuk mengekang kebebasan tersebut. P4 dipandang sebagai program yang berusaha
    “mendidik” rakyat untuk mematuhi doktrin negara tanpa memberikan ruang bagi
    pendapat yang berbeda. Dengan cara ini, P4 menjadi alat pembatasan terhadap kebebasan
    berekspresi, yang dalam pandangan Gus Dur adalah elemen penting dalam demokrasi
    yang sehat.
  6. P4 dan Penegakan Keseragaman Ideologi Gus Dur mengkritik penerapan P4 karena
    dianggap memperkenalkan keseragaman ideologi yang berbahaya bagi keberagaman
    Indonesia. Indonesia adalah negara yang plural, dengan berbagai suku, agama, dan
    budaya. P4, yang dipaksakan oleh pemerintah, mengarah pada homogenisasi ideologi
    yang bertentangan dengan prinsip pluralisme. Pancasila memang merupakan dasar
    negara, tetapi Gus Dur menegaskan bahwa Indonesia harus mampu mengakomodasi
    keberagaman pandangan hidup dan tidak memaksakan satu ideologi tunggal.
  7. Menciptakan Masyarakat yang Tidak Kritis Gus Dur menilai bahwa P4 menghambat
    kemampuan masyarakat untuk berpikir kritis terhadap kebijakan pemerintah dan masalah
    sosial yang ada. Program ini, dalam pandangan Gus Dur, lebih menekankan pada
    kepatuhan terhadap aturan negara daripada mengajarkan cara berpikir yang mandiri.
    Demokrasi yang sejati membutuhkan masyarakat yang kritis dan mampu
    mempertanyakan kebijakan pemerintah tanpa takut dihukum atau ditekan.
  8. P4 Sebagai Hambatan dalam Membangun Demokrasi yang Sehat Gus Dur sering
    menekankan bahwa untuk membangun demokrasi yang sehat, negara harus memberikan
    ruang bagi keberagaman pendapat dan memastikan adanya mekanisme check and balance
    yang efektif. P4, dalam pandangannya, menjadi hambatan bagi terciptanya demokrasi
    yang sehat karena justru mengarahkan masyarakat pada sikap patuh dan tunduk kepada
    negara, tanpa memberikan ruang untuk kebebasan berpendapat, diskusi terbuka, dan
    perbedaan pandangan.
    Dalam pandangan Gus Dur, demokrasi yang ideal harus melampaui tahap formalistik dan
    fokus pada substansi sosial dan politik. Ia percaya bahwa demokrasi substansial—yang
    melibatkan partisipasi aktif masyarakat sipil dan fokus pada kemaslahatan rakyat untuk
    memastikan keberlangsungan sistem demokratis yang seimbang dan inklusif.
    Penerapan P4 terhadap stabilitas politik Indonesia
  9. Stabilitas Politik dan Ekonomi: Stabilitas politik menciptakan lingkungan yang kondusif
    bagi pertumbuhan ekonomi. Investasi dan bisnis cenderung berkembang lebih baik dalam
    suasana politik yang stabil karena memberikan prediktabilitas dan kepastian hukum
  10. Peran Aktif Masyarakat: Peran aktif masyarakat dalam proses politik juga berpengaruh
    besar terhadap stabilitas politik. Partisipasi warga negara dalam pemilihan umum,
    pengawasan pemerintah, dan peran aktif dalam proses kebijakan adalah aspek penting
    yang dapat menjaga stabilitas politik
  11. Pencegahan Paham Ekstrimis: P4 berfungsi untuk melakukan pencegahan terhadap
    penyebaran paham-paham ekstrimis yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai
    Pancasila, seperti radikalisme, komunisme, hingga ekstremisme
    Stabilitas politik yang buruk di era Demokrasi Liberal 1950-1959
  12. Pergantian Kabinet yang Cepat: Kabinet seperti Natsir dan Sukiman hanya bertahan
    dalam waktu singkat, mencerminkan tantangan dalam menjaga stabilitas pemerintahan.
    Seringnya pergantian kabinet mengganggu stabilitas politik Indonesia karena pemerintah
    hanya berfokus pada pergantian kabinet saja
  13. Hubungan Pusat dan Daerah: Daerah merasa kurang diperhatikan karena pemerintah
    pusat terlalu sering berganti. Hal ini memicu potensi ketidakpuasan dan gerakan
    separatisme, yang menantang persatuan nasional.
  14. Kemacetan Dewan Konstituante: Dewan Konstituante yang bertugas menyusun konstitusi
    baru mengalami kemacetan selama beberapa tahun. Ketidakmampuan dalam
    merumuskan konstitusi baru menyebabkan kekecewaan di masyarakat.
  15. Dominasi Kepentingan Partai: Kondisi politik cenderung tidak stabil dan didominasi oleh
    kepentingan partai
    Dekrit Presiden 5 Juli 1959: Presiden Soekarno dan TNI mengumumkan Dekrit Presiden
    untuk mengatasi ketidakstabilan politik dan ancaman terhadap persatuan negara. Dekrit ini
    melarang semua kegiatan politik, memulihkan UUD 1945, dan membentuk MPR. Kemudian
    Presiden Soekarno merespon kondisi politik dengan menggaungkan Nasakom, Konsepsi
    Presiden, Kabinet Gotong Royong, dan Dewan Nasional. Dewan Nasional bertugas memberikan
    nasihat kepada kabinet hal itu dilakukan Soekarno untuk memberikan penawaran baru dalam
    merespon kondisi sosial-politik kala itu
    Tidak selarasnya P4 dengan demokrasi liberal
  16. Demokrasi Liberal (1950-1959) lebih mendekati prinsip-prinsip demokrasi yang ideal
    dengan kebebasan berpendapat, pluralisme politik, dan partisipasi politik yang lebih luas.
    Meskipun ada masalah ketidakstabilan politik dan polarisasi, sistem ini memungkinkan
    masyarakat untuk lebih aktif dalam proses politik dan memiliki hak untuk mengkritik
    pemerintah.
  17. P4 berhasil memberikan stabilitas politik dan kesatuan ideologi negara, cenderung
    mengikis demokrasi dengan menekan kebebasan berpendapat dan membatasi pluralisme
    politik. Sistem ini lebih mengutamakan kontrol pemerintah atas masyarakat dan
    mengurangi ruang untuk oposisi.
    Secara umum, Demokrasi Liberal (1950-1959) dapat dianggap lebih baik dalam konteks
    demokrasi, karena memberi ruang bagi kebebasan politik, pluralisme, dan partisipasi rakyat. P4,
    di sisi lain, meskipun mungkin menguntungkan dalam hal stabilitas politik, cenderung
    merugikan prinsip-prinsip dasar demokrasi seperti kebebasan dan keterbukaan.
    Tawaran Gus Dur untuk Perbaikan
  18. Reformasi Pendidikan Demokrasi: Gus Dur mendorong adanya reformasi dalam
    pendidikan yang mengintegrasikan nilai-nilai demokrasi dengan ajaran Islam, sehingga
    dapat melahirkan generasi yang paham akan hak dan kewajiban mereka dalam
    masyarakat
  19. Penguatan Infrastruktur Demokrasi: Ia menekankan perlunya memperkuat
    lembaga-lembaga demokrasi seperti parlemen dan hukum, agar dapat menjalankan fungsi
    mereka secara efektif dalam mewujudkan keadilan sosial
  20. Musyawarah dan Partisipasi: Gus Dur mengusulkan agar prinsip musyawarah
    diintegrasikan dalam setiap aspek kehidupan berbangsa, sehingga keputusan yang
    diambil mencerminkan kepentingan semua pihak dan bukan hanya segelintir elit politik
  21. Penolakan Terhadap Otoritarianisme: Dengan menolak segala bentuk otoritarianisme,
    Gus Dur menyerukan agar Pancasila tidak dijadikan alat legitimasi kekuasaan, tetapi
    sebagai dasar untuk membangun masyarakat yang adil dan sejahtera
    Melalui pandangan ini, Gus Dur berusaha mendorong Indonesia menuju sebuah sistem
    demokrasi yang lebih inklusif dan substantif, dengan menghargai pluralitas serta memberikan
    ruang bagi semua elemen masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam proses politik.
    REFERENSI
    Jurnal Ilmu Sosial dan Politik. (2001). Demokrasi dan Demokratisasi: Perspektif Gus Dur.
    Wahid, Abdurrahman. (2003). Islam dan Pluralisme: Refleksi Pemikiran Gus Dur.
    Wahid, Abdurrahman. (2005). Islam, Kebudayaan, dan Demokrasi: Pemikiran Gus Dur tentang
    Kebebasan Berpendapat.
    Budiman, Arief. (2010). Gus Dur dan Demokrasi: Sejarah dan Pemikiran Politik.
    Budi Santosa, “Pancasila dan Demokrasi: Antara Konsolidasi Negara dan Ruang Publik”
    Rudi Haryanto, “P4 dan Orde Baru: Sejarah Politik Penghayatan Pancasila”
    Ahmad Taufik, “Pancasila sebagai Ideologi Negara dan Tantangannya dalam Konteks
    Demokrasi”

Penulis: Muhammad Fadhil Bilad

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *