Terdapat masa ketika fenomena pertunjukan teater di Indonesia menjadi ruang yang penuh gairah
dan mengundang gegap gempita publik. Setiap pementasan adalah momen sakral, sebuah ajang
di mana ide, emosi, dan cerita berjumpa dalam harmoni gerakan dan bunyi-bunyian. Namun,
sebagaimana bisa dilihat dan dirasa, kini teater di Indonesia seperti perlahan kehilangan
denyutnya. Penonton semakin jarang, tepuk tangan semakin sepi, dan aroma bunga di panggung
semakin jarang tercium. Mungkinkah ini pertanda dari kematian teater kita?
Ketika saya menghadiri beberapa pertunjukan teater, pola yang sama terus berulang. Penonton
didominasi oleh orang tua yang kebanyakan hadir bukan karena minat, melainkan karena
paksaan anaknya yang sedang menjadi aktor atau panitia dimana target utamanya adalah tiket
habis terjual bagaimanapun caranya. Pertunjukan teater menjadi semacam ritual keluarga yang
dijalankan dengan setengah hati, bukan untuk menemukan pengalaman yang menggugah hati.
Memang, ada beberapa pertunjukan yang tampak ramai oleh anak muda. Tapi, jangan buru-buru
bergembira. Sebagian dari mereka hadir lebih karena sindrom fear of missing out (FOMO).
Keberhasilan marketing yang membuat mereka merasa “keren” karena hadir di acara itu, atau
lebih tragis lagi, sekadar rasa tidak enak pada teman yang sedang pentas. Ini ironi, mengingat
teater yang seharusnya menjadi ruang eksplorasi seni dan emosi yang mendalam, malah jadi
ajang basa-basi sosial.
Alasan-alasan Dibalik Meredupnya Cahaya Dalam Teater
Mungkin benar, seperti yang dikatakan Gus Dur, bahwa teater di Indonesia kini terlalu
sloganistik. Alih-alih menyelami watak manusia, teater kita lebih sibuk mengglorifikasi masa
lalu. Semangat nostalgia itu memang indah, tetapi seperti anggur basi, ia kehilangan rasa
autentiknya seiring waktu.
Menurut Gus Dur, teater seharusnya tetap dengan fokusnya, yakni menggali temuan-temuan
paling mendalam tentang watak manusia, khususnya saat berhadapan dengan kekuasaan. Dalam
konteks ini, teater tidak hanya berarti hiburan, melainkan sebuah medium untuk mencapai
keluhuran hidup. Namun, apakah ada pementasan yang berhasil menggapai cita-cita itu dalam
beberapa tahun terakhir?
Bambang Sugiharto juga pernah menyebutkan dalam seminar “Matinya Teater” di UNPAR pada
2013 silam, bahwa teater kini kehilangan relevansinya karena ketidakakuratan
manusia-manusianya dalam merespon realitas. Jika teater tak lagi mampu menyingkap lapisan
terdalam dari kondisi manusia dan realitas sosial, lantas apa bedanya ia dengan drama-drama
televisi yang hanya berputar di tema cinta klise dan konflik yang dangkal?
Kehilangan kedalaman ini adalah awal dari kematian teater. Tanpa adanya renungan yang
menyentuh dan emosional yang memikat, teater akan kehilangan daya pikatnya. Penonton
datang, duduk, menonton, tapi tak ada yang mereka bawa pulang selain kantuk dan rasa bosan.
Tak bisa dipungkiri juga, kita hidup di era disrupsi. Informasi dan hiburan tersedia dalam sekali
sentuh. Dunia digital membawa kecepatan yang tak tertandingi dimana semua informasi bisa
diakses kapan saja, di mana saja. Sementara teater sendiri menuntut proses yang tidak sebentar,
seperti butuh waktu untuk datang ke tempat pertunjukan, kesabaran untuk duduk berjam-jam,
dan energi untuk mencerna cerita yang sering kali kompleks dan pelik. Sayangnya, anak-anak
sekarang lebih memilih hiburan yang cepat dan instan. Mereka ingin sesuatu yang bisa
dikonsumsi dalam beberapa menit, seperti video TikTok, bukan dua jam layaknya pementasan
teater.
Globalisasi memperburuk keadaan
Hiburan digital dari dalam maupun luar negeri dengan
kualitas produksi tinggi dan cerita yang relatable semakin menyita perhatian publik. Sementara
itu, teater Indonesia tertatih-tatih mencoba bertahan dengan sumber daya yang terbatas, baik dari
sisi kreativitas maupun dukungan finansial.
Kemudian kita sudah bisa memastikan bahwa tanpa dukungan yang layak, sulit rasanya bagi
teater untuk berkembang. Apresiasi terhadap pelaku seni di Indonesia masih sangat rendah.
Pertunjukan sering kali dihargai murah, bahkan ada yang menganggap seni teater sebagai “hobi”
belaka. Meski pemerintah telah menyediakan Dana Abadi Kebudayaan melalui program Dana
Indonesiana, kenyataannya tidak semua pelaku seni bisa mengaksesnya. Yohanes Mega Hendarto
dalam tulisannya di Kompas menyebut bahwa dana ini lebih sering jatuh ke kelompok-kelompok
besar yang sudah tenar atau memiliki jaringan relasi kuasa yang kuat. Akibatnya, seniman atau
kelompok yang kecil sering kali terpinggirkan. Kondisi ini berujung pada penurunan kualitas pementasan. Bagaimana mungkin seniman bisa menciptakan karya yang berkualitas jika mereka harus memikirkan bagaimana cara bertahan hidup? Ketika seni hanya menjadi pilihan terakhir, wajar jika akhirnya mutu pertunjukan menurun.
Menghidupkan Kembali Teater di Indonesia
Namun, di tengah semua pesimisme ini, saya percaya teater masih punya harapan. Teater adalah
akumulasi pengalaman hidup manusia. Ia mencerminkan drama kehidupan yang natural, seperti
yang dijelaskan oleh Erving Goffman dalam konsep dramaturgi. Interaksi manusia di atas
panggung menjadi representasi kehidupan sehari-hari yang, jika ditampilkan dengan apik,
mampu menyentuh emosi terdalam penontonnya. Bagaimana mempersembahkan pertunjukan
layaknya drama kehidupan sehari-sehari yang natural dan penuh makna. Di sinilah pentingnya mempraktekkan konsep Konstantin Stanislavski, di mana aktor mengenal dirinya sendiri, memahami watak lawan mainnya, dan menghayati setiap gerakan dan barang-barang di sekitar sebagai tanda yang penuh makna. Ketika ini dilakukan dengan sungguh-sungguh, teater akan menjadi pengalaman yang memukau, baik bagi aktor maupun penontonnya.
Pementasan yang relevan dengan kehidupan masyarakat tentu merupakan kunci utama. Teater
harus mampu berbicara dalam bahasa yang dimengerti oleh audiens masa kini, tanpa kehilangan
esensinya sebagai medium eksplorasi seni yang mendalam serta ekspresi yang natural terhadap
imajinasi manusia. Dengan cara ini, teater bisa kembali memikat dan mendapatkan apresiasi
yang layak dari berbagai pihak.
Teater Indonesia tidak boleh mati. Tetapi untuk menyelamatkannya, kita membutuhkan upaya
kolektif: Cerita yang diangkat harus relevan dengan kondisi sosial, budaya, dan politik saat ini.
Ini bukan berarti meninggalkan cerita klasik, tetapi bagaimana cerita itu bisa diterjemahkan ke
dalam konteks modern. Sistem pendanaan yang lebih inklusif dan transparan harus
diperjuangkan. Seniman independen harus diberi akses yang sama terhadap sumber daya.
Teknologi tidak harus menjadi musuh. Teater bisa memanfaatkan media digital untuk
mempromosikan pementasan atau bahkan menciptakan pengalaman interaktif baru.
Pada akhirnya, teater adalah cerminan dari jiwa masyarakatnya. Jika kita membiarkan teater
mati, apa artinya itu bagi kemanusiaan kita? Di tengah gempuran dunia digital dan hiburan
instan, teater adalah pengingat bahwa seni sejati membutuhkan waktu, usaha, dan kedalaman.
Semoga kita tidak melupakan itu.
Penulis: Nurul Hidayat
Referensi
https://www.youtube.com/watch?v=siTivJ0SZXM&ab_channel=PustakaMatahari
https://www.kompas.id/baca/riset/2024/06/18/pelaku-seni-pertunjukan-berjuang-merebut-ruang
https://mediaindonesia.com/humaniora/621494/koalisi-seni-dana-abadi-daerah-sulit-diakses-pela
ku-seni
Fathul A. Husein, 2013, Konstantin Stanislavski dan Penciptaan Aktor Estetik, Jurnal Ilmiah
Seni Teater, Vol 10, No 2.
Wiratri Anindhita, 2018, Dramaturgi Dibalik Kehidupan Social Climber, Jurnal Komunikasi dan
Bisnis, Vol 6, No 1.
Dede Pramayoza, 2013, Pementasan Teater Sebagai Suatu Sistem Penandaan, Jurnal Dewa
Ruci, Vol 8, No 2.
Sunardy Kasim dkk, 2024, Bimbingan Teknis Pementasan Teater Dalam Melestarikan Teater
Tradisi Lombok, Jurnal Ilmiah Pengabdian dan Inovasi, Vol 2, No 4.
Amanda Putri Divanti, 2021, Analisis Daya Tarik Penonton MElalui Experential Marketing
Pada Pertunjukan Drama Musikal Hamlet, Jurnal Kajian Sastra, Teater dan Sinema, Vol 18, No
1.
Adinda Tri Rahma Dewi, 2024, Rendahnya Minat Pada Budaya Lokal di Kalangan Remaja,
Jurnal Pendidikan Tambusai, Vol 8, No 2.